PANCASILA JATI DIRI BANGSA INDONESIA
BAB I
|
PANCASILA JATIDIRI BANGSA INDONESIA
A. Pengantar
alam upaya untuk membahas dan memahami Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia, terdapat
beberapa permasalahan mendasar yang memerlukan klarifikasi lebih
dahulu, agar memudahkan dalam usaha implementasinya dalam kehidupan
nyata. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama-tama perlu difahami dan dibahas makna jatidiri,
apakah jatidiri itu, apakah suatu bangsa memerlukan jatidiri untuk
melestarikan existensinya. Apa kedudukan jatidiri bagi suatu bangsa.
Bagaimana suatu bangsa yang tidak memiliki suatu jatidiri.
Masalah yang kedua adalah menyangkut persoalan bangsa,
apakah pada era globalisasi ini masih pada tempatnya untuk membicarakan
peran dan kedudukan bangsa dalam percaturan global yang berindikasi tak
bermaknanya batas-batas antar negara. Ada pihak-pihak yang mengatakan
bahwa dengan globalisasi ini berakhirlah peran dan kedudukan negara
bangsa. Apakah bangsa Indonesia perlu tetap exist dalam menghadapi era
globalisasi ini.
Masalah ketiga adalah menyangkut Pancasila
itu sendiri. Benarkah Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Apakah Pancasila ini bukan hanya sekedar suatu rekayasa politik yang
tidak memenuhi syarat bagi suatu jatidiri. Prinsip dasar dan nilai dasar
mana saja yang terdapat dalam Pancasila.
Masalah terakhir adalah bagaimana implementasi Pancasila
ini dalam kehidupan yang nyata. Kalau Pancasila memang merupakan
jatidiri bangsa Indonesia, seharusnya telah ada dalam kehidupan yang
nyata dalam masyarakat. Mengapa masih memerlukan sosialisasi.
B. Jatidiri
Jatidiri yang merupakan
terjemahan identity adalah suatu kualitas yang menentukan suatu
individu atau entitas, sedemikian rupa sehingga diakui sebagai suatu
pribadi yang membedakan dengan individu atau entitas yang lain. Kualitas
yang menggambarkan suatu jatidiri bersifat unik, khas, yang
mencerminkan pribadi individu atau entitas dimaksud. Jatidiri akan
mempribadi dalam diri individu atau entitas yang akan selalu nampak
dengan konsisten dalam sikap dan perilaku individu dalam menghadapi
setiap permasalahan.
Dalam
mengadakan reaksi terhadap suatu stimulus, individu tidak secara
otomatis mengadakan respons terhadap stimulus tersebut, tetapi organisme
atau individu yang bersangkutan memberikan warna bagaimana respons yang
akan diambilnya. Setiap organisme memiliki corak yang berbeda dalam
mengadakan respons terhadap stimulus yang sama. Hal ini disebabkan oleh
jatidiri yang dimiliki setiap organisme, individu atau entitas, meskipun
dapat saja respons ini disadari atau tidak.
Meskipun
diakui dalam perjalanan hidupnya suatu individu dalam menghadapi
permasalahan mengalami perkembangan dan perubahan dalam mengadakan
reaksi terhadap suatu permasalahan yang berulang, tetapi pada hakikatnya
selalu bersendi pada kualitas dasar yang telah mempribadi, yang menjadi
jatidiri individu dimaksud.
Adanya jatidiri pada suatu
individu, khususnya manusia, memang merupakan karunia Tuhan. Suatu
bukti menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki ciri khusus secara fisik
dalam bentuk sidik jari, dan DNA . Sehingga dianggap wajar dalam segi
mental manusia juga memiliki ciri khusus yang membedakan manusia yang
satu dengan manusia yang lain. Sehingga mendudukkan manusia sesuai
dengan harkat dan martabat dengan setara, dan menghormati jatidiri
manusia merupakan suatu tindakan moral terpuji.
Dengan
memiliki jatidiri dan menerapkan secara konsisten, seseorang tidak akan
mudah terombang-ambing oleh gejolak yang menerpanya. Ia memiliki harga
diri, dan kepercayaan diri, sehingga tidak mudah tergiur oleh rayuan
yang menyesatkan. Dari uraian tersebut jelas bahwa jatidiri sangat
diperlukan bagi seseorang dalam mencapai sukses dalam membawa dirinya.
Timbul
suatu pertanyaan, apakah suatu bangsa, khususnya negara-bangsa
memerlukan jatidiri. Untuk menjawab pertanyaan ini nampaknya perlu
disepakati lebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara-bangsa.
C. Negara-Bangsa
Konsep
negara-bangsa diduga baru lahir sekitar abad ke-sembilanbelas, mulai
berkembang di Eropa, dan Amerika Utara, melebarkan sayapnya ke Amerika
Latin dan Asia, dan kemudian ke Afrika. Bangsa, baru dikenal pada abad
ke 19. Memang sebelum masa itu telah terdapat masyarakat yang mungkin
sangat maju dan sangat berkuasa, tetapi tidak mencerminkan adanya suatu
bangsa. Yang dikenal pada waktu itu adalah faham keturunan yang kemudian
menciptakan dinasti-dinasti dan wangsa, yang berarti keluarga. Baru
setelah terjadi revolusi Perancis pada akhir abad ke 18 dan permulaan
abad ke 19 mulailah orang memikirkan masalah bangsa.
Otto Bauer seorang legislator dan seorang teoretikus yang hidup pada permulaan abad 20 (1881-1934), dalam bukunya yang berjudul Die Nationalitatenfrage und die Sozialdemokratie (1907) menyebutkan bahwa bangsa adalah: “Eine Nation ist eine aus Schikalgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft.” Otto Bauer lebih menitik beratkan pengertian bangsa dari sudut karakter atau perangai yang dimiliki sekelompok manusia yang dijadikan jatidiri suatu
bangsa. Karakter ini akan tercermin pada sikap dan perilaku
warga-bangsa. Karakter ini menjadi ciri khas suatu bangsa yang
membedakan dengan bangsa yang lain, yang terbentuk berdasar pengalaman
sejarah budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh
kembangnya bangsa.
Sebagai
contoh dapat dikemukan di sini tradisi dan kultur Negara–bangsa Amerika
Serikat yang dikemukakan oleh Jean J. Kirkpatrick, dalam bukunya yang
berjudul Rationalism and Reason in Politics, yang menggambarkan jatidiri bangsa Amerika sebagai berikut:
1. Selalu mengedepankan konsensus sebagai dasar legitimasi otoritas pemerintah.
2. Berbuat realistik sebagai tolok ukur realisme yang mendorong adanya harapan besar apa yang dapat diselesaikan oleh politik.
3. Mempergunakan belief reasoning dalam menata efektifitas rekayasa (engineering) kegiatan politik.
4. Langkah dan keputusan yang deterministik dalam mencapai tujuan multi demensi sosial dengan selalu melalui konstitusi.
Contoh
lain tentang terbentuknya karakter bangsa sebagai akibat pengalaman
sejarah, misal negara-negara Eropa kontinental bersifat rasionalistik, Inggris emperik, Amerka scientific, India non-violence dengan Satyagrahanya, dan Indonesia integralistik dengan Pancasilanya.
Lain
halnya dengan Ernest Renan seorang filsuf, sejarawan dan pemuka agama
yang hidup antara tahun 1823 – 1892, yang menyatakan bahwa bangsa adalah
sekelompok manusia yang memiliki kehendak untuk bersatu sehingga merasa
dirinya satu, le desir d`etre ensemble. Dengan demikian faktor utama yang menimbulkan suatu bangsa adalah kehendak dari warga untuk membentuk bangsa.
Bangsa ini kemudian mengikatkan diri menjadi negara yang bersendi pada suatu idee. Hegel menyebutnya bahwa negara adalah penjelmaan suatu idee, atau “een staat is de tot werkelijkheid geworden idee.”
Teori
lain tentang timbulnya bangsa adalah didasarkan pada lokasi. Tuhan
menciptakan dunia ini dalam bentuk wilayah-wilayah atau lokasi-lokasi
yang membentuk suatu kesatuan yang merupakan entitas politik. Bila kita
lihat peta dunia maka akan nampak dengan jelas adanya kesatuan-kesatuan
wilayah seperti Inggris, Yunani, India, Korea, Jepang, Mesir, Filipina,
Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut dibatasi oleh samudera yang luas
atau oleh gunung yang tinggi atau padang pasir yang luas sehingga
memisahkan penduduk yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dari
wilayah yang lain, sehingga terbentuklah suatu kesatuan yang akhirnya
terbentuklah suatu bangsa. Teori inilah yang biasa diasebut sebagai
teori geopolitik.
Istilah
geopolitics yang merupakan singkatan dari geographical politics dikenal
sesudah terjadi Glorious Revolution Inggris, Revolusi Amerika dan
Revolusi Perancis, yang merupakan titik awal kelahiran negara bangsa.
Istilah ini diperkenalkan secara umum pada tahun 1900 oleh pemikir
politik Swedia Rudolf Kjellen dengan menyebut tiga demensi geopolitk
yakni:
1. Environmental,
yaitu fisik geografis negara bangsa, dengan kekayaan alamnya dan segala
limitasinya untuk tujuan pembangunan dan masa depan negara bangsa.
2. Spatial, yakni distribusi lokasi dengan faktor-faktor strategis bagi pertahanan negara bangsa, dan
3. Intellectual, yakni segala pemikiran dan konsep yang demokratis ideal bagi masa depan rakyatnya.
Menurut
Ensiklopedi Nasional Indonesia, bahwa bangsa menurut hukum adalah
rakyat atau orang-orang yang ada di dalam suatu masyarakat hukum yang
terorganisir. Kelompok orang-orang yang membentuk suatu bangsa ini pada
umumnya menempati bagian atau wilayah tertentu, berbicara
dalam bahasa yang sama, memiliki sejarah, kebiasaan, dan kebudayaan yang
sama, serta terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat.
Pengertian bangsa semacam ini adalah yang biasa disebut negara bangsa atau nation state yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warganya menjadi satu kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan.
3. Memiliki adat budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama.
4. Memiliki karakter atau perangai yang sama yang mempribadi dan menjadi jatidirinya.
5. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
6. Terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga warga bangsa ini terikat dalam suatu masyarakat hukum.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
1. Bahwa
penduduk yang menempati ribuan kepulauan yang terbentang antara
samudera India dan samudera Pasifik, dan di antara dua benua Asia dan
Australia, memenuhi syarat bagi terbentuknya suatu negara-bangsa, yang
bernama Indonesia. Hal ini juga telah dikukuhkan sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bahwa
suatu negara-bangsa memiliki ciri khusus yang membedakan dengan
negara-bangsa yang lain berupa karakter atau perangai yang dimilikinya,
idee yang melandasinya, sehingga merupakan pribadi dari negara-bangsa
tersebut. Secara fisik ciri khusus ini dilambangkan oleh bendera negara,
lagu kebangsaan dan atribut lain yang mewakili negara.
3. Bagi
bangsa Indonesia ciri khusus ini di samping bendera Sang Saka Merah
Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Bhinneka Tunggal
Ika, terdapat prinsip dasar dan nilai dasar yang dapat ditemukan pada
Pembukaan UUD 1945, yang merupakan pribadi bangsa Indonesia.
D. Pancasila Jatidiri Bangsa Indonesia
Para founding fathers
pada waktu merancang berdirinya negara Republik Indonesia membahas
mengenai dasar negara yang akan didirikan. Ir. Soekarno mengusulkan agar
dasar negara yang akan didirikan itu adalah Pancasila, yang merupakan
prinsip dasar dan nilai dasar yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia, yang mempribadi dalam masyarakat dan merupakan
suatu living reality. Pancasila ini sekaligus merupakan jatidiri bangsa Indonesia.
Namun
dalam memasuki abad ke 21 perlu dipertanyakan, masih relevankah
membahas Pancasila di era reformasi ini? Bukankah sejak bergulirnya
reformasi orang enggan untuk berbicara Pancasila, bahkan TAP MPR No.
II/MPR/1978 tentang P4 telah dicabut. Keengganan berbicara mengenai
Pancasila mungkin disebabkan oleh berbagai alasan di antaranya:
1. Dengan
runtuhnya Uni Sovyet yang berideologi komunis, orang meragukan manfaat
ideologi bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang
beranggapan bahwa ideologi tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan
bagi rakyat penganutnya. Ideologi sekadar dipandang sebagai pembenaran
terhadap kebijakan yang diperjuangkan oleh para elit politik.
2. Pancasila
selama dua periode, yakni selama “Orde Lama” dan “Orde Baru” belum
mampu mengantarkan rakyat Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera
bahagia, bahkan setiap periode berakhir dengan kondisi yang
memprihatinkan. Orde Lama berakhir dengan tragedi G-30-S/PKI, Orde Baru
berakhir dengan kondisi kehidupan yang diwarnai oleh KKN. Timbul
pertanyaan mengapa Pancasila yang mengandung prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang baik dan benar, dalam prakteknya membawa berbagai
bencana?
3. Terjadinya
fobi dalam masyarakat terhadap pengalaman masa lampau yang mengangkat
Pancasila menjadi ideologi bangsa untuk kemudian disakralkan dan
dijadikan tameng bagi para penguasa. Pancasila dipergunakan oleh
penguasa untuk mempertahankan kemapanan dan status quo. Sebagai akibat
terjadilah penyimpangan-penyimpangan tindakan pada para penguasa dalam
menentukan kebijakannya yang tidak sesuai lagi dengan hakikat Pancasila
itu sendiri.
Hal-hal
tersebut di atas yang di antaranya menyebabkan orang enggan untuk
membicarakan ideologi, termasuk ideologi Pancasila. Sebagian orang
beranggapan bahwa yang penting, pada dewasa ini, adalah bagaimana
membawa rakyat dan bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan lahir dan
batin. Yang diperlukan adalah langkah nyata untuk mencapai maksud
tersebut. Nampaknya mereka lupa, bahwa sikap semacam itu berdasar pada
suatu ideologi tertentu juga.
Namun
dewasa ini orang mulai memasalahkan Pancasila lagi, karena dengan
berlangsungnya reformasi yang dilanda oleh berbagai faham atau ideologi
seperti demokrasi yang bersendi pada faham kebebasan yang
individualistik, dan hak asasi manusia universal, justru mengantar
rakyat Indonesia kepada disintegrasi bangsa dan dekadensi moral. Orang
mulai menilai lagi bahwa kejatuhan dari orde-orde terdahulu bukan karena
orde tersebut menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi diduga karena orde-orde
tersebut menyalah-gunakan Pancasila sekedar sebagai alat untuk
mempertahankan hegemoninya, sehingga Pancasila tidak dilaksankan secara
konsisten.
Analisis
berbagai pihak juga berkesimpulan, apabila penyelenggaraan pemerintahan
tidak melaksanakan Pancasila secara konsisten – murni dan konsekuen –
maka akan mengalami kegagalan. Hal ini terbukti dari pengalaman sejarah
baik selama Orde Lama maupun selama Orde Baru. Tiada mustahil bahwa Orde
Reformasi, apabila tidak melaksanakan Pancasila secara konsisten dalam
menerapkan kekuasannya akan mengulang lagi kekeliruan orde-orde
terdahulu, yang akan berakhir dengan kejatuhan orde ini. Oleh karena itu
orang mulai bertanya-tanya bagaimana Pancasila dapat dengan tepat dan
benar melandasi dan bagaimana penerapannya bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
E. Mengapa Pancasila
Berikut
disampaikan suatu uraian yang memberikan suatu justifikasi mengapa
sejak merdeka pada tahun 1945, bangsa Indonesia selalu berpegang pada
Pancasila, dan menetapkan sebagai dasar naegaranya. Justifikasi ini
ditinjau dari sudut yuridik, filsafati dan sosiologik.
F. Justifikasi yuridik
Bila
kita cermati secara mendalam nampak bahwa bangsa Indonesia berketetapan
hati untuk selalu berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar
negaranya. Hal ini tercermin dalam UUD yang pernah berlaku. Berikut
disampaikan kutipan rumusan Pancasila dalam berbagai UUD tersebut.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang biasa disebut UUD 1945
Pembukaan
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Mukaddimah
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Maka demi ini
kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang
berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial,
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
Mukaddimah
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Maka demi ini
kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang
berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial,
untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna.
Demikianlah
rumusan Pancasila yang terdapat dalam berbagai UUD yang pernah berlaku
di negara Indonesia, meskipun secara explisit tidak disebut kata
Pancasila itu. Dengan kata lain sejak kemerdekaannya pada tahun 1945
hingga kini bangsa Indonesia selalu menetapkan Pancasila sebagai dasar
negaranya.
Di
samping itu berbagai Ketetapan MPR RI menentukan pula kedudukan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Berikut disampaikan berbagai kutipan yang berkaitan dengan Pancasila
yang terdapat pada berbagai TAP MPR RI dimaksud, khususnya TAP-TAP MPR
RI yang dihasilkan selama era reformasi.
1. TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAK ASASI MANUSIA
Pasal 2
Menugaskan
kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Landasan
Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. TAP
MPR RI No.XVIII/MPR/1998 tentang PENCABUTAN TAP MPR RI No.II/MPR/1978
tentang P4 (EKAPRASETIA PANCAKARSA) dan Penetapan tentang PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Pasal 1
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
3. TAP MPR RI No.IV/MPR/1999 tentang GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA TAHUN 1999 – 2004
Dasar Pemikiran
Tujuan
nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang
berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Landasan
Garis-garis Besar Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945.
Misi
Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut: (1) Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) dst.
4. TAP MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL
Kondisi yang Diperlukan
(2) Terwujudnya sila Persatuan Indonesia yang merupakan sila ketiga dari Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.
Arah kebijakan
(2) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka
dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyarakat sehingga
dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.
5. TAP MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA
Pengertian
Etika
Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama,
khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Dari
kutipan-kutipan yang tersebut di dalam berbagai TAP MPR RI di atas
nampak dengan jelas betapa penting kedudukan dan peran Pancasila bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Berikut disampaikan garis besarnya:
1. Hak asasi manusia tidak dibenarkan bertentangan dengan Pancasila.
2. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia berdasar pada Pancasila.
3. Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
4. Tujuan nasional dalam pembangunan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila.
5. GBHN disusun atas dasar landasan idiil Pancasila.
6. Salah
satu misi bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depannya adalah:
Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
7. Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.
8. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
9. Pancasila sebagai acuan dasar untuk berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Butir-butir
tersebut terdapat dalam TAP-TAP MPR RI sehingga setiap warganegara
wajib untuk mengusahakan agar prinsip-prinsip tersebut dapat dilaksankan
secara nyata dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu
wacana yang mempersoalkan “Mengapa Pancasila” menjadi tidak relevan lagi
dan menjadi obsolete.
G. Justifikasi teoretik-filsafati
Justifikasi
teoretik-filsafati terhadap Pancasila adalah usaha manusia untuk
mencari kebenaran Pancasila dari sudut olah fikir manusia, dari
konstruksi nalar manusia secara logik. Kebenaran secara logik ini dapat
ditinjau dari sisi formal, yakni tanggung jawab prosedural olah pikir
tersebut, dan dari sisi material, yakni dari isi atau
substansi yang menjadi pokok pikiran. Untuk praktisnya dalam mencari
kebenaran Pancasila secara teoretik-filsafati ini tidak diuraikan secara
terpisah antara kebenaran dari sisi formal dengan sisi material, tetapi
secara bersamaan.
Pada
umumnya dalam olah fikir secara filsafati, dimulai dengan suatu axioma,
yakni suatu kebenaran awal yang tidak perlu dibuktikan lagi, karena hal
tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki. Demikian pula para
founding fathers bangsa Indonesia dalam membuktikan kebenaran Pancasila
dimulai dengan suatu axioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam suatu pertalian yang selaras atau harmoni.” Axioma
ini dapat ditemukan rumusannya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea kedua, keempat dan dalam batang tubuh pasal 29, sebagai berikut:
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
. . . , yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, . . . .
Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai bahan banding dapat dikemukakan di sini axioma yang dikemukakan oleh bangsa Amerika dalam menetapkan demokrasi sebagai dasar bagi negaranya sebagai berikut :”We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal,
that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights,
that among these are Life, Liberty, and the pursuit of Happiness. –
That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed.” Makna
self-evident adalah sama dengan axioma, suatu kebenaran yang tidak
perlu dibuktikan lagi, dan bila axioma ini salah maka akan gugurlah
segala kebenaran yang terjabar dari axioma tersebut.
Marilah kita mencari kebenaran-kebenaran Pancasila dengan meninjau prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dengan bertitik tolak dari axioma tersebut di atas.
1. Sebagai
konsekuensi logis dari axioma tersebut di atas, maka lahirlah suatu
pengakuan bahwa alam semesta, termasuk manusia, adalah ciptaan Tuhan,
dan Tuhan telah mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti, dan telah
menyediakan segala hal yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan
existensinya, serta telah membekali dengan kompetensi-kompetensi
tertentu pada makhluk yang diciptakanNya, maka sudah sewajarnya bila
manusia patuh dan tunduk kepadaNya. Existensi segala unsur yang tergelar
di alam semesta ini memiliki missinya sendiri-sendiri sesuai dengan
yang digariskan oleh Tuhan. Bahwa segala unsur yang terdapat di alam
jagad raya ini memiliki saling ketergantungan yang membentuk suatu
ekosistem yang harmonis. Masing-masing memiliki peran dan kedudukan
dalam menjaga kelestarian alam semesta. Pengingkaran akan missi yang
diemban oleh masing-masing unsur akan mengganggu keseimbangan dan
harmoni.
1.Namun
di sisi lain Tuhan juga membekali manusia dengan kemampuan untuk
berfikir, merasakan dan kemauan. Kemampuan-kemampuan ini berkembang
lebih lajut menjadi kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi,
kemampuan bermasyarakat dan sebagainya. Untuk dapat mengembangkan
kemampuan-kemampuan tersebut Tuhan juga mengaruniai manusia suatu hak
yang disebut kebebasan. Berbagai pihak beranggapan bahwa hak harus
dituntut karena hak ini berkaitan dengan kepemilikan yang hakiki, lupa
bahwa sebenarnya hak adalah suatu kualitas etis atau moral yang diharapkan dapat membentuk suatu kesantunan moral yang ideal.
Dengan keTuhanan Yang Maha Esa dimaksudkan bahwa manusia sadar dan
yakin bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang berbudi luhur,
yang patuh pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkanNya. Suatu
ikhtiar sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik yang
merupakan implementasi kebebasan, dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan.
Segala upaya yang dilakukan oleh manusia tidak dibenarkan bertentangan
dengan apa yang menjadi missi manusia dengan kelahirannya di dunia.
Tindakan yang mengarah pada perusakan, penghancuran adalah bertentangan
dengan missi yang diemban oleh manusia. Yang dipergunakan sebagai acuan
tiada lain adalah memayu hayuning bawono, mengusahakan agar alam selalu dalam keadaan yang paling kondusif bagi kelestariannya.
2. Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tinggi martabatnya. Manusia dibekali
oleh Tuhan dengan kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah, yang
baik dan yang buruk, yang adil dan zalim, dsb. Manusia selalu
mengusahakan yang terbaik bagi dirinya, menghendaki perlakuan yang adil.
Untuk mencapai hal tersebut manusia berusaha untuk menciptakan
pola-pola fikir dan tindak yang bermanfaat bagi dirinya tanpa merugikan
atau mengganggu pihak lain. Manusia didudukkan dalam kesetaraan;
hak-haknya dihormati tanpa mengabaikan bahwa manusia adalah ciptaan
Tuhan yang wajib mengemban missi yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya.
Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sesuai dengan
bekal-bekal dan kemampuan-kemampuan yang dikaruniakan oleh Tuhan. Hanya
dengan cara demikian maka manusia diperlakukan dengan sepatutnya secara
beradab.
3. Dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia akan berhadapan
dengan manusia lain sebagai individu, dengan berbagai jenis kelompok
atau golongan, dengan suatu kelompok khusus yang disebut negara-bangsa,
dan dengan masyarakat dunia. Dalam hubungan ini pasti akan timbul
kepentingan-kepentingan tertentu, dan masing-masing unsur berusaha untuk
menonjolkan dan memperjuangkan kepentingannya. Bagi bangsa Indonesia
yang memiliki dasar negara Pancasila, berusaha untuk mendudukkan setiap
unsur pada peran dan fungsinya secara selaras atau harmonis. Yang
diutamakan bukan kepentingan masing-masing unsur namun terpenuhinya
kepentingan dari semua unsur yang terlibat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adalah wajar bila dalam hidup
berbangsa dan bernegara kita sebagai warga negara-bangsa menyerahkan
sebagian dari kepentingan dan kebebasan kita demi kelestarian dan
kebesaran negara-bangsa. Sebagai contoh adalah dipandang wajar suatu
negara-bangsa menuntut pemuda-pemudanya untuk mengambil bagian dalam
pertahanan negara, seperti bentuk wajib militer. Bahkan ada suatu
negara-bangsa yang terpaksa mengambil tindakan secara tegas bagi
warganegaranya yang menolak wajib militer tersebut. Tanpa menyerahkan
sebagian dari kepentingan dan kebebasan individu tidak mungkin terbentuk
suatu masyarakat yang disebut negara-bangsa.
4. Dewasa
ini negara-negara di dunia sedang dilanda oleh demam demokrasi.
Masing-masing negara berusaha untuk membuktikan dirinya sebagai negara
demokrasi. Namun bila kita cermati, maka pelaksanaan demokrasi di
berbagai negara tersebut berbeda-beda. Tidaklah salah bila UNESCO
berkesimpulan bahwa idee demokrasi dianggap ambiguous, atau memiliki dua
makna. Terdapat ambiguity atau ketaktentuan dalam sekurang-kurangnya
dua segi, yakni mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang
dipergunakan untuk melaksanakan idee demokrasi ini, dan mengenai latar
belakang kultural dan historis yang mempengaruhi istilah, idee dan
praktek demokrasi. Oleh karena itu suatu negara-bangsa yang ingin
memberikan makna demokrasi sesuai landasan filsafat yang dianutnya dan
mendasarkan diri pada sejarah perkembangan bangsanya dipandang
wajar-wajar saja. Bahkan memaksakan suatu sistem demokrasi yang
diterapkan pada suatu negara-bangsa tertentu untuk diterapkan pada
negara lain yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dipandang
suatu pelanggaran hak asasi. Oleh karena dipandang sah-sah saja bila
bangsa Indonesia memiliki konsep demokrasi sesuai dengan dasar filsafat
negara-bangsanya dan latar belakang budayanya, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang diterapkan melalui lembaga-lembaga negara yang disepakati oleh para founding fathers.
5. Yang
dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dalam mendirikan negara adalah
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada maknanya suatu
kesejahteraan hanya untuk sebagian kecil dari rayat Indonesia, karena
akhirnya yang tidak memperoleh kesejahteraan ini akan menjadi beban dan
tanggungan. Oleh karena itu konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia merupakan suatu konsep yang dapat dipertanggung jawabkan
sebagai penterjemahan dari fahan kebersamaan dan faham persatuan dan
kesatuan.
Dari
uraian di atas nampak dengan jelas bahwa Pancasila dapat dipertanggung
jawabkan dari tinjauan teoretik-filsafati, dari analisis dan pemikiran
yang logik. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai universal yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa di dunia,
meskipun dalam prakteknya menampakkan perbedaan-perbedaan. Kami yakin
bahwa Pancasila dapat menjadi salah satu alternatif ideologi manusia di
masa depan.
H. Justifikasi Sosiologik
Sesuai
dengan penggagas awal, Ir. Soekarno, bahwa Pancasila digali dari bumi
Indonesia sendiri, dikristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang
secara nyata dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam.
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dapat diamati di
berbagai masyarakat yang terserak dari Sabang sampai Merauke. Memang
diakui bahwa dalam mempraktekkan nilai-nilai dasar tersebut terdapat
perbedaan pada berbagai masyarakat; yang berbeda sekedar nilai
praksisnya sedang nilai dasar adalah tetap sama. Dengan demikian maka
Pancasila memang merupakan living reality dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Dari
uraian di atas jelas bahwa bagi bangsa Indonesia tidak perlu ada
keraguan mengenai Pancasila baik sebagai dasar negara, sebagai ideologi
bangsa, maupun sebagai pedoman untuk bersikap dan bertingkah laku dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terbukti dari
analisis baik ditinjau dari segi yuridik, teoretik-filsafati, maupun
sosiologik.
Masalah
berikutnya adalah bagaimana Pancasila ini dapat dijabarkan lebih jauh
sebagai pedoman, panduan dan acuan bagi bangsa Indonesia dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ini perlu
dijabarkan ke dalam berbagai norma sehingga dapat dijadikan pedoman
bertindak, dalam menentukan pilihan, dalam mengadakan penilaian dan
mengadakan kritik terhadap peristiwa atau kebijakan yang digariskan oleh
pemerintah. Tanpa membuminya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, pembuktian yang diungkapkan di atas tidak
memiliki makna sama sekali, sehingga sekedar suatu wacana belaka.